Mengurai Dimensi Kasus Guru dan Siswa di Gorontalo Melalui Lensa Antropologi Hukum
Dunia pendidikan kembali digemparkan dengan kasus yang melibatkan seorang guru dan ketua OSIS di salah satu MAN yang ada di Gorontalo. Baru terungkap ke publik pada tahun 2024 setelah bermula sejak tahun 2022, cukup menghadirkan sejumlah pertanyaan kompleks yang melampaui aspek hukum semata. Sebetulnya, hal serupa tidak terjadi hanya sekali, akan tetapi tindakan terkait asusila sudah kerapkali menerpa institusi pendidikan. Arena seperti sekolah, kampus, bahkan pesantren tidak menutup kemungkinan akan menjadi sarang tempat bercokol para pelaku dengan isi kepala yang bejat dengan korban yang tak pandang bulu. Secara umum, masyarakat Gorontalo sama seperti masyarakat Indonesia lainnya, memiliki sistem nilai dan norma yang kompleks. Konsep kehormatan, martabat, dan kekerabatan sangat penting dalam kehidupan sosial yang dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap norma-norma sosial yang berlaku, terutama yang berkaitan dengan etika profesi guru dan perlindungan anak.
Dinamika Kekuasaan dalam Relasi Guru-Siswa
Adanya ketidakseimbangan kekuasaan yang inheren dalam relasi guru-siswa menjadikan figur otoritas dalam hal ini guru yang memiliki pengaruh signifikan terhadap kehidupan siswa, termasuk aspek emosional dan psikologis. Foucault berargumen bahwa kekuasaan tidak hanya terletak pada institusi atau individu yang memiliki otoritas formal, tetapi juga tersebar dalam berbagai relasi sosial. Kekuasaan bekerja melalui pengetahuan, norma, dan praktik sehari-hari. Dalam konteks institusi pendidikan, guru dianggap memiliki posisi kuasa yang signifikan. Mereka memiliki otoritas atas pengetahuan, nilai, dan penilaian terhadap murid. Dalam hal ini, guru dapat memanfaatkan posisinya untuk mengeksploitasi siswa, terutama mereka yang dalam kondisi rentan seperti yang terjadi pada murid Pasya yang yatim piatu. Dinamika kuasa dalam relasi guru-siswa merupakan salah satu aspek krusial yang perlu diperhatikan. Seorang guru sebagai figur otoritas, memiliki posisi yang kuat dalam mempengaruhi siswa. Perbedaan usia, pengalaman, dan pengetahuan menciptakan ketidakseimbangan yang signifikan. Jika guru memanfaatkan posisinya untuk mengeksploitasi siswa dengan hubungan yang tidak pantas (pedofilia) terhadap murid yang seharusnya dididik, terutama yang dalam kondisi rentan seperti yatim piatu, maka hal ini dapat menjadi bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Penyimpangan sosial dalam hal ini guru yang memiliki otoritas dan pengetahuan yang lebih dibandingkan siswa hadir sebagai figur otoritatif dapat menciptakan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang dalam hubungan interpersonal, termasuk hubungan antara guru dan siswa.
Aspek Sosial Budaya
Dimensi sosial budaya telah memainkan peran penting. Dalam banyak masyarakat, termasuk Indonesia, guru dipandang sebagai sosok yang terhormat dan memiliki wibawa. Hal ini dapat membuat siswa merasa sulit untuk menolak atau melaporkan tindakan yang tidak pantas dari guru. Selain itu, status sebagai ketua OSIS salah satu MAN dan finalis Duta Genre Provinsi yang diemban oleh korban juga dapat menjadi faktor yang memperumit situasi. Sebagai pimpinan dari kalangan siswa, korban mungkin merasa tertekan untuk menjaga reputasi sekolah dan menghindari skandal. Kehilangan orang tua sejak dini dapat membuat seseorang menjadi lebih rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi. Status yatim piatu Pasya menjadi faktor yang memperburuk kerentanannya. Dalam banyak budaya, anak yatim piatu seringkali menghadapi stigma dan diskriminasi, sehingga mereka lebih rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan verbal maupun non verbal. Tanpa kehadiran orang tua sebagai pelindung, korban akan menyalurkan rasa kesepian dengan upaya mencari sosok pengganti yang dapat memberikan perhatian dan kasih sayang. Dimensi ini membuat guru sebagai pelaku dapat memanfaatkan kondisi psikologis korban. Disisi lain keluarga dan lingkungan sosial turut memiliki peran penting dalam membentuk karakter seseorang. Jika keluarga tidak memberikan dukungan yang cukup atau bahkan terlibat dalam pembiaran, maka anak akan semakin rentan mengalami kekerasan seksual. Selain itu, tekanan sosial untuk menjaga nama baik keluarga dapat membuat korban enggan melaporkan kejadian yang menimpanya. Lebih luas lagi, kasus ini mencerminkan sejumlah isu sosial dan budaya yang lebih kompleks.
Gender, Media dan Tinjauan Hukum
Peran guru sebagai sosok yang dihormati dan dianggap memiliki moralitas tinggi sering kali dikontraskan dengan pandangan terhadap siswa, terutama perempuan, yang seringkali dianggap lebih pasif dan mudah dipengaruhi. Perbedaan kekuasaan ini dapat menciptakan ruang bagi terjadinya eksploitasi seksual. Munculnya video yang merekam tindakan asusila tersebut di media sosial juga menyoroti peran teknologi dalam menyebarkan informasi dan membentuk opini publik. Di satu sisi, media sosial dapat menjadi alat untuk mengungkap kasus-kasus pelanggaran seperti ini dan mendorong tindakan hukum. Di sisi lain, penyebaran video tanpa sensor tersebut juga dapat menimbulkan dampak negatif seperti penyebar yang dapat terkena sanksi hukum, penonton video dari kalangan anak dibawah umur dan untuk korban sendiri, akan diterpa stigma dan kekerasan siber.
Kasus asusila yang melibatkan siswi dan gurunya di Gorontalo dilihat sebagai pelanggaran hukum baik dalam perspektif hukum pidana maupun perspektif moral dan agama. Di dalam tinjauan hukum pidana, Undang-undang perlindungan anak (UU No. 35 tahun 2014) kasus asusila terhadap anak dibawah umur dianggap sebagai tindakan pidana yang serius. Guru sebagai pelaku yang memiliki hubungan kuasa atas murid bisa dihukum lebih berat karena perannya sebagai pendidik yang semestinya melindungi anak didiknya. UU ini melindungi anak dari segala bentuk kekerasan seksual. Jika terbukti, pelaku dapat dikenakan pidana penjara yang cukup lama. Dan juga pelaku mendapatkan pasal KUHP yaitu pasal terkait pencabulan dan pemerkosaan, terutama jika terbukti ada unsur paksaan, ancaman atau kekerasan. Selanjutnya, didalam hukum Islam, perbuatan asusila seperti zina atau pelecehan seksual dianggap sebagai dosa besar. Zina yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak atau orang yang berada dibawah pengawasan dan tanggung jawabnya, seperti seorang guru dan murid sangat dikecam. Dari perspektif Maqasid Syariah (tujuan-tujuan Syariah), tindakan asusila melanggar prinsip Hifz al-irdh (perlindungan kehormatan) dan Hifzh al-nasi (perlindungan keturunan). Pelanggaran ini tidak hanya merusak kehormatan korban tetapi juga merusak kehormatan masyarakat secara umum.
Kesimpulan
Kasus guru dan siswi di Gorontalo merupakan fenomena kompleks. faktor sosial, budaya, dan psikologis maupun hukum saling berinteraksi untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya peristiwa semacam ini. Kasus ini juga menjadi pengingat penting tentang perlunya upaya preventif untuk mengatasi masalah kekerasan seksual, termasuk pendidikan seks yang komprehensif, perlindungan anak yang lebih baik, dan perubahan sikap masyarakat terhadap korban kekerasan seksual.
Penulis:
Fian Anawagis (Mahasiswa Pascasarjana Antropologi Universitas Hasanuddin)
Andi Wulanjiha Noer Paraga (Mahasiswi Pascasarjana Hukum Keluarga Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
