Ketika KNPI Sulsel Menanam Satu Bibit, Tapi Panennya Dua Ketua.

Sebagai kader OKP, Pengurus KNPI Kecamatan, serta juga merupakan seorang Pemuda Sulawesi Selatan, saya selalu percaya bahwa organisasi kepemudaan adalah ladang tempat generasi muda menanam gagasan, memupuk cita-cita, dan memanen masa depan. Tapi rupanya, DPD KNPI Sulsel memilih jalur pertanian jenis baru jenis yang kalau kita tanam satu bibit, hasil panennya bisa dua. Logika ini tidak ada dalam buku ilmu pertanian manapun, kecuali mungkin dalam buku dongeng atau dalam cerita pemilihan ketua organisasi yang belakangan ramai itu.

Bayangkan kita para pemuda berkumpul untuk memilih ketua, ibarat musyawarah petani di kampung yang sepakat menanam padi di sawah warisan leluhur. Semua datang membawa harapan, tanam satu benih, tumbuh satu ketua. Sederhana. Tapi ternyata yang tumbuh bukan padi, melainkan pohon pisang kembar dua batang muncul dari satu lubang tanah. Bukan pisang kepok, bukan pisang raja, tapi pisang KNPI yang berbuah dua arah.

Sebagai pemuda Sulsel, saya hanya bisa mengelus dada sambil bertanya-tanya:
“Ini pemilihan ketua atau percobaan rekayasa genetik?”

Apalagi ketika masing-masing pihak mengklaim dirinya adalah “buah yang paling matang”. Sementara para pemuda di bawahnya bingung mau ikut panen yang mana. Kalau salah pilih, bisa-bisa disebut tidak loyal. Kalau pilih dua-duanya, nanti dianggap tidak punya prinsip. Kalau tidak pilih sama sekali, dibilang apatis. Serba salah, seperti memilih antara dua bibit yang sama-sama mengaku paling unggul tapi sama-sama tidak mau dicampur dalam satu polybag.

Kondisi ini persis seperti dua penyuluh pertanian yang sama-sama ngotot bahwa metode tanamnya paling benar, lalu merebutkan satu sawah kecil. Padahal di luar sana, ladang yang terbengkalai masih banyak, pemuda yang butuh ruang masih banyak, dan kerja-kerja pemberdayaan jauh lebih penting daripada memperebutkan posisi di baliho.

Kadang saya berpikir, mungkin KNPI Sulsel ini sebenarnya sedang mengadakan eksperimen, 
“Bisakah satu organisasi punya dua nahkoda tanpa tenggelam?”

Jawabannya jelas, kalau kapal dipimpin dua kapten, satu mau belok kiri, satu mau belok kanan, kapal itu tidak akan kemana-mana. Hanya berputar-putar seperti perahu tempel yang mesin kiri dan kanannya nyala tidak seimbang. Ikan pun lewat sambil tertawa kecil, “Hei pemuda, fokuslah. Kami saja kalau berenang pakai satu ekor, bukan dua.”

Sebagai pemuda Sulawesi Selatan, saya merasa fenomena ini bukan sekadar lucu, tapi menggelitik logika. KNPI seharusnya menjadi lumbung ide, bukan lumbung ego. Tempat pemuda bersatu, bukan tempat dua aliran saling tarik menarik seperti tali jemuran yang diperebutkan dua ibu kos.

Ironisnya, ketika kami, para pemuda akar rumput, sibuk memikirkan bagaimana mengembangkan ekonomi kreatif, memberdayakan desa, memperkuat literasi digital, dan membangun jejaring wirausaha, para elite organisasi justru sibuk memperebutkan kursi. Seolah-olah KNPI ini bukan ladang publik, tapi kebun pribadi.

Ini semua mengingatkan saya pada sebuah pelajaran penting dalam dunia pertanian,
“Jika dua pohon tumbuh terlalu dekat, akarnya akan saling membelit dan sama-sama tidak bisa tumbuh tinggi.”

Begitu pula organisasi, dua ketua dalam satu struktur tidak akan melahirkan kekuatan, yang lahir justru kebingungan. Yang tumbuh bukan prestasi, tapi prasangka. Yang menetas bukan inovasi, tapi intrik.

Sebagai pemuda Sulsel, saya tentu berharap agar
suatu hari nanti, pemilihan ketua KNPI kembali seperti menanam padi yang benar, yakni satu bibit, satu batang, satu ketua. Bukan menanam satu, panen dua, bukan tanam padi, tumbuh ilalang, bukan menanam harapan, memanen kebingungan.

Karena kami pemuda ingin organisasi yang jelas arahnya, bukan organisasi yang galau identitas kepemimpinan.

Satu hal yang saya tahu pasti,
Pemuda Sulawesi Selatan terlalu besar untuk dipimpin oleh dua ego yang saling berebut. Pemuda butuh satu kompas, satu arah, dan satu semangat. Bukan dua bendera di satu tiang yang saling menghalangi angin.

Dan sampai hari itu tiba, biarlah kami memandang kebun KNPI Sulsel dari jauh, sambil tersenyum kecut melihat pohon pisang kembar itu tumbuh.
Semoga suatu saat ada petani bijak yang kembali merapikan kebun, mencabut ego liar, dan menyisakan satu batang yang paling layak untuk memimpin ladang pemuda Sulawesi Selatan.

Oleh: Rifaldi 
Tokoh Pemuda Bajeng