Sebuah Tuntutan Moral di Tengah Krisis Kepercayaan: Narkoba, Pelecehan, dan Uang Palsu
Kampus, yang seharusnya menjadi benteng intelektual dan moral, kini terjerat dalam pusaran ironi yang memprihatinkan. Kasus demi kasus mencuat ke permukaan, mengungkap sisi gelap institusi yang selama ini kita kagumi. Mulai dari lumbung narkoba yang terdapat di lingkungan kampus. Tindakan pelecehan seksual oleh pejabat tingkat fakultas dan seorang profesor, hingga penggandaan uang palsu oleh kepala Perpustakaan Universitas, Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa kasus-kasus ini bisa terjadi? Dan lebih penting lagi, mengapa kita harus menuntut tokoh-tokoh pendidik yang notabenenya sebagai patron suri tauladan untuk bertanggung jawab atas semua ini?
Terbongkarnya kasus dari oknum (yang diduga supersenior) sebagai pemantik awal yang telah dideteksi menjadikan sekretariat salah satu Kampus Negeri di Makassar sebagai lumbung narkoba yang semakin memperparah situasi. Kampus, yang seharusnya menjadi tempat untuk menumbuhkan generasi muda yang sehat dan berkarakter, kini justru menjadi sarang bagi para penyalah guna narkoba. Ini adalah bukti nyata bahwa pengawasan pada lingkungan vital (sekretariat) mahasiswa masih sangat lemah.
Kasus berikutnya sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dari telinga ke telinga terkait pelecehan seksual, namun kali ini melibatkan pejabat tingkat fakultas dan seorang profesor Kampus Negeri di Makassar. Dua sosok yang seharusnya menjadi panutan, justru melakukan tindakan keji yang merusak psikologis korban. Ini adalah pengkhianatan besar terhadap kepercayaan yang telah diberikan oleh mahasiswa. Di mana letak tanggung jawab para pendidik dalam kasus ini? Bukankah mereka seharusnya menciptakan lingkungan kampus yang aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual?
Kemudian yang terbaru dan sangat mencengangkan adalah Perpustakaan Pusat Kampus Islam Negeri lokasinya masih sama di Makassar juga, sebagai jantung intelektual kampus, seharusnya menjadi ruang suci bagi pencarian ilmu. Namun, kini ia tercemar oleh tindakan kriminal yang begitu rendah. Bagaimana mungkin sebuah tindakan sekeji pemalsuan uang bisa terjadi di lingkungan yang seharusnya menjunjung tinggi integritas? Ini adalah tamparan keras bagi kita semua, terutama bagi para pendidik yang seharusnya menjadi contoh bagi mahasiswa. Dalam dunia pendidikan tinggi yang kita banggakan, tersimpan berbagai ironi yang tak kalah menarik dengan sinetron televisi. Salah satu hal yang menggelitik misalnya, kerapkali kasus pemalsuan tanda tangan dosen oleh mahasiswa yang dikejar deadline, lantas dosen bersangkutan berada diluar daerah sangat memungkinkan jadi alasan lambat respon, yang memang terkadang juga tidak digubris sama sekali. Sehingga kenekatan pun muncul dibenak mahasiswa. Namun, apadaya hari ini kita lebih tertampar dan dibalas dengan temuan yang lebih mengejutkan: pemalsuan uang oleh dosen di gedung Perpustakaan. Jika meminjam istilah strain atau ketegangan dari Robert K. Merton, menyatakan bahwa individu melakukan tindakan kriminal ketika mereka merasa tertekan atau mengalami ketegangan antara tujuan-tujuan budaya yang diharapkan (misalnya, mencapai kesuksesan finansial atau kepentingan ekonomis secara cepat seperti kilat) dengan sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan tertentu. Sungguh sebuah pertarungan sengit antara generasi muda yang kreatif dan generasi tua yang kaya pengalaman.
Mahasiswa, dengan segala keterbatasannya, mencoba untuk memecahkan masalah dengan strategi yang tepat. Tujuannya mulia: ingin lulus kuliah dan tidak ingin membayar UKT lagi, hanya karena sisa bubuhan tanda tangan dari dosen yang begitu sibuk serta lambat respon (meskipun tidak semua demikian). Namun, upaya mereka ini dianggap sebagai kejahatan yang keji dan harus dihukum seberat-beratnya. Para dosen pun kadang mengecam tindakan ini sebagai pelanggaran etika dan moral yang tak bisa ditolerir. Betapa terkejutnya kita ketika kemudian terungkap fakta bahwa ada dosen yang lebih berani lagi. Ini jauh lebih ekstrim daripada mahasiswa yang kepepet ingin dibubuhi ttd pada berkasnya karena deadline, sebab mereka bahkan lebih nekat memalsukan uang. Dan tempat kejadiannya pun sangat ironis: Perpustakaan, yang seharusnya menjadi sumber ilmu pengetahuan dan kebenaran. Sungguh ironi yang mendalam, bukan?
Siapa yang lebih jahat? Mahasiswa yang memalsukan tanda tangan untuk pengesahan akhir mendapatkan gelar, atau dosen yang memalsukan uang untuk memperkaya diri? Keduanya sama-sama melanggar hukum, namun tampaknya masyarakat lebih mudah mengutuk mahasiswa. Mungkin karena mahasiswa dianggap sebagai generasi yang masih labil dan mudah terpengaruh. Sedangkan dosen, dengan segala wibawanya, dianggap sebagai sosok yang suci dan tak mungkin melakukan kesalahan.
Atau mungkin, kita bisa melihat kasus ini dari sudut pandang yang berbeda. Mungkin saja, para dosen ini terinspirasi oleh kreativitas mahasiswa. Mereka berpikir, “Jika mahasiswa bisa memalsukan tanda tangan, mengapa saya tidak bisa memalsukan uang?” Atau mungkin, mereka merasa iri dengan keberanian mahasiswa yang kerap mengambil risiko selain yang disebutkan diatas termasuk: aktivitas malam, memaksakan diri untuk membawa kajian pada mahasiswa lewat perkaderan, uang galdan yang melimpah dari hasil keringat berjalan keliling kampus untuk sebuah even yang mengharumkan nama kampus, atau dsb. (Ini hanyalah asumsi liar dari penulis).
Yang jelas, kasus ini membuktikan bahwa masalah di perguruan tinggi tidak hanya sebatas pada mahasiswa. Para dosen pun memiliki andil dalam menciptakan lingkungan akademik yang korup. Dan yang paling menyedihkan adalah, kita mungkin baru melihat puncak gunung es. Masih banyak lagi kasus serupa yang belum terungkap.
Semua kasus di atas menunjukkan bahwa ada yang sangat salah dengan ekosistem pendidikan kita. Para pendidik, sebagai ujung tombak pendidikan, memiliki tanggung jawab yang sangat besar dalam membentuk karakter mahasiswa. Namun, nyatanya banyak di antara mereka yang gagal menjalankan tugasnya dengan baik entah karena ilmunya sudah melampaui batas atau memang ketidakstabilan moralitas/aqidah.
Mengapa harus tokoh pendidik yang menjadi sorotan? Karena merekalah yang memiliki otoritas dan pengaruh yang sangat besar di lingkungan kampus. Merekalah yang seharusnya menjadi contoh bagi mahasiswa. Jika para pendidik saja sudah melakukan tindakan yang menyimpang, bagaimana kita bisa berharap mahasiswa akan menjadi generasi yang lebih baik?
Kita tidak bisa lagi tinggal diam. Kita harus bersuara dan menuntut pertanggungjawaban dari para pelaku, termasuk para pendidik yang terlibat dalam kasus-kasus ini. Selain itu, kita juga harus mendesak pihak kampus untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan yang ada.
Kasus-kasus yang terjadi di kampus adalah cerminan dari krisis moral yang sedang kita hadapi. Kita tidak bisa lagi menyalahkan satu pihak saja, tetapi harus mengakui bahwa kita semua memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki situasi ini. Mari kita bersama-sama membangun kampus yang menjadi tempat untuk menumbuhkan generasi muda yang cerdas, berkarakter, dan memiliki integritas.
Kasus narkoba, pelecehan oleh pejabat dan pemalsuan uang oleh dosen di perpustakaan adalah tamparan keras bagi dunia pendidikan. Ini menunjukkan bahwa masalah di perguruan tinggi jauh lebih kompleks dari yang kita bayangkan. Kita tidak bisa lagi menyalahkan mahasiswa semata, tetapi harus melihat masalah ini secara menyeluruh.
Mungkin sudah saatnya kita mengubah paradigma kita tentang pendidikan. Jangan hanya fokus pada pencegahan mahasiswa melakukan kecurangan, tetapi juga pada perbaikan sistem yang memungkinkan terjadinya kecurangan. Dengan begitu, kita bisa menciptakan lingkungan akademik yang lebih sehat dan produktif.
Penulis: Fian Anawagis (Mahasiswa Akhir Kampus Negeri di Makassar)
