Luka itu bernama “Ironesia”
Baru beberapa hari yang lalu kita disuguhkan dengan karya lukis yang ikonik dan cukup nyentrik oleh bapak seniman Rokhyat atas refleksi setelah kejadian pagar laut, gas langka, dengan orang yang selalu mengandalkan istilah “itu oknum”. Dengan polesan yang sarat akan pesan disetiap bagian gambar tikus dalam tubuh garuda, Indonesia seakan menjadi negeri yang kaya akan sumber daya alam dan budaya, namun kerap dihadapkan pada kenyataan “langganan” ironi. Belum lama kasus-kasus tersebut tayang di televisi nasional, korupsi merajalela kembali dipertunjukkan pada tubuh Pertamina, perusahaan energi negara yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian. Maka tak heran muncul aspirasi lewat lirik lagu “gelap gempita” sebelum judul “bayar, bayar, bayar” yang dilantunkan oleh dua sejoli yang resah terhadap kebijakan-kebijakan yang tidak pro pada rakyat. Namun, para seniman yang berani menyuarakan kritik dan kebenaran dibungkam, kreativitas mereka ikut dipadamkan oleh tangan-tangan kekuasaan. Di sisi lain, kebijakan makan bergizi gratis yang perlu ditinjau ulang karena adanya beberapa anak-anak sekolah yang tidak cocok dengan makanan “seragam” tersebut. Seperti di beberapa lokasi, ada yang harus menanggung derita keracunan makanan gratis, program yang seharusnya memberikan gizi bagi generasi penerus bangsa. Peristiwa ini bukanlah sekadar kejadian terpisah, melainkan manifestasi dari permasalahan yang lebih dalam, yaitu kecenderungan krisis nilai dan budaya yang melanda masyarakat Indonesia.
Budaya Patron-Klien yang Merusak
Korupsi di Pertamina, dengan segala kompleksitasnya, mencerminkan budaya patron-klien yang masih mengakar kuat dalam birokrasi Indonesia. Dalam budaya ini, kekuasaan dan kekayaan menjadi alat untuk mempertahankan dan memperluas jaringan patronase. Para pejabat dan pengusaha yang korup memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, tanpa memedulikan kepentingan rakyat banyak. Praktik korupsi ini juga menunjukkan adanya krisis integritas dan etika di kalangan elite. Nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan transparansi seolah-olah telah luntur, digantikan oleh mentalitas kerakusan ditengah pemerintah pusat yang menggaungkan basmi “korupsi”. Bayangkan saja jika dalam salah satu liputan mereka (jajaran direksi) digadang-gadang telah menerima gaji kotor selama sebulan itu dalam kisaran angka Rp 4.6 Milyar. Dan masih mempermainkan oplosan. Apakah itu kekhilafan lagi dari oknum?. Rakyat geram, setelah mengetahui bahwa barang yang selama ini dianggap menjadi solusi untuk antrian panjang pertalite ternyata bahannya sama. Harapannya hanya satu, semoga ini langkah awal yang benar-benar ingin mengungkap semua kasus korupsi dari yang besar maupun kecil.
Pembungkaman Seniman: Intimidasi terhadap Kebebasan Berekspresi
Pembungkaman terhadap seniman adalah bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi, salah satu hak asasi manusia yang fundamental. Para seniman yang kritis dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan, sehingga mereka dibungkam bahkan diintimidasi. Dalam konteks budaya, pembungkaman ini juga menunjukkan adanya ketakutan terhadap perbedaan pendapat dan kreativitas. Masa iya, pemangku kebijakan takut dengan penggalan lirik lagu. Boleh jadi, penguasa yang otoriter (mungkin bukan oknum) ingin menciptakan keseragaman dan kepatuhan, sehingga mereka menindas segala bentuk ekspresi yang dianggap menyimpang. Termasuk pembongkaran topeng untuk klarifikasi dan pencabutan karya.
Keracunan Makanan Gratis: Perlunya Tinjauan Ulang Negara terhadap Hak Anak
Kasus keracunan makanan gratis di sekolah dasar adalah tragedi kemanusiaan yang memilukan. Peristiwa ini menunjukkan betapa perlunya evaluasi dan tinjauan kembali negara terhadap kebutuhan anak, yaitu hak untuk hidup sehat yang diawasi ketat melalui penyaluran dengan pemberdayaan masyarakat setempat, serta kecocokan gizi untuk calon generasi emas dalam menggapai stabilitas pendidikan yang layak. Sementara itu, di pedalaman Papua beberapa anak juga menuntut agar kebijakan itu diganti saja dengan pendidikan gratis. Dari analisis antropologi, dapat dilihat bahwa peristiwa beruntun yang menerpa negeri ini saling terkait dan berakar pada permasalahan yang sama, yaitu krisis nilai dan budaya. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan upaya yang komprehensif dan berkelanjutan antara lain, penegakan hukum yang adil dan transparan yang sudah semestinya bertindak tegas terhadap para pelaku korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia, tanpa pandang bulu. Mengingat beberapa media juga sudah gencar membuat klasemen korupsi di Indonesia. Dimulai dari “nol” ya, mungkin kata-kata tersebut sering kita dengar hanya di pertamina. Dan kali ini, adakalanya budaya-budaya korupsi yang merupakan penyebab terbesar “ironesia” atau ironi Indonesia, juga musti di berantas hingga ke akar-akar (mulai dari nol). Sehingga penguatan peran masyarakat sipil baik lewat karya-karya maupun kegiatan partisipan pengawasan perlu dilibatkan secara aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan dan memperjuangkan hak-hak rakyat dan tentunya tidak membungkam (kecuali kalau sudah menghina personal seperti menyebut nama dan diikuti dengan salah satu nama hewan, menurut penulis juga itu sudah jauh dari nilai-nilai etika publik).
Dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan Indonesia dapat keluar dari krisis nilai dan budaya yang melanda, serta menjadi bangsa yang lebih adil, makmur, dan beradab.
Penulis: Fian Anawagis (Chairman Posbankum Alleway)
